A.A.I Prihandari Satvikadewi*
Hampir semua bidang pekerjaan dan profesi terdampak oleh cepat meluasnya penularan COVID-19, penyakit yang menyerang sistem respirasi manusia, yang dipicu oleh virus Corona jenis SARS-CoV-2; tak terkecuali seniman dan profesional industri kreatif. Survei daring yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) selama periode 20 Maret–4 April 2020 menyebutkan, dampak yang paling memukul pelaku industri di bidang ini adalah pembatalan proyek yang mengakibatkan sejumlah karyawan terpaksa dirumahkan dan ribuan tenaga paruh waktu (freelancer) kehilangan pekerjaan. Subsektor yang paling banyak mengalami pembatalan pekerjaan akibat krisis Covid-19 adalah film, video, audio (17,35%); seni pertunjukan (10,8%); seni vokal dan musik (9,%); fotografi (9,4%), riset (7,2 %), dan desain komunikasi visual (7,2 %) (Bernie, 2020).
Imbauan “bekerja dari rumah” bagi pekerja seni tidak serta merta bisa menggantikan pendapatan mereka yang hilang, mengingat tidak semua rantai produksi seni dan industri kreatif dapat dilakukan secara virtual. Secara invidual maupun kolektif, seniman dan pekerja industri kreatif kemudian melakukan beberapa cara untuk bertahan, antara lain: mengganti agenda pameran dan beralih ke pasar seni atau galeri daring (online art marketplace/gallery) untuk menjual karya mereka melalui, membuat terobosan kreatif yang mengandalkan teknologi untuk menciptakan karya seni seperti merekam dan mengedit lagu secara online, memperkenalkan teknik virtual photoshoot, menawarkan e-ticket sebagai akses masuk penonton untuk menyaksikan live streaming pertunjukan seni (konser, teater, tari) berbayar. Di luar itu, tak sedikit pula yang untuk menutup kebutuhan sehari-hari terpaksa banting setir berjualan makanan, jilbab, hand sanitizers sampai APD – terutama seniman dan pekerja kreatif yang tidak memiliki cukup sumber daya untuk berkarya.
Karya Seni sebagai Komoditi
Sejak karya seni menjadi komoditi, seniman memang bukan lagi semata-mata penghasil atau pencipta sebuah karya yang bersifat estetik, spiritual dan berkualitas transendental. Dalam definisi Marx, komoditi memiliki aspek ganda: pertama, memiliki nilai pakai, dalam wujud benda-benda fisik yang memiliki sifat-sifat yang memuaskan keinginan atau kebutuhan manusia; dan kedua, memiliki nilai tukar, artinya sebagai deposan nilai, benda-benda ini dapat ditukar dengan komoditas lain yang dianggap bernilai sama, atau ditukar dengan uang. Pada era serba industri di mana komoditi tampil sepenuhnya sebagai kekuatan yang menjajah semua aspek kehidupan sosial, keterkaitan seni dengan uang dan bisnis tidak dapat dianggap sebagai keganjilan dan karya seni tidak lagi dapat digambarkan sebagai sesuatu yang ‘tak ternilai’. Nilai-nilai sosial dan artistik dari suatu karya seni, baik lukisan, seni visual, musik, teater, film, tari sudah sejak lama menyerah kepada nilai-nilai pasar yang mendewakan penggunaan dan pertukaran.
Dengan pengertian ini karya yang dihasilkan oleh seniman dan para pelaku industri kreatif pada dasarnya adalah produk-produk yang sejak awal penciptaannya sengaja dirancang untuk diperjualbelikan sebagaimana jenis komoditi lain. Maka ketika pasar sedang mengalami tekanan seperti masa pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal 2020 ini, kedudukan karya seni bergeser menjadi kebutuhan tersier yang urgensinya lebih rendah ketimbang sembako, masker, cairan desinfektan dan sabun cuci tangan. Di awal merebaknya kabar terdeteksinya pasien terinfeksi virus Corona, harga sekardus kain penutup mulut melambung berkali-kali lipat dari harga normal, sehingga bagi investor, mengeluarkan miliaran untuk produk alat kesehatan diasumsikan lebih menguntungkan dibanding mengakuisisi sebuah lukisan mahakarya, mensponsori sebuah pertunjukan atau memproduseri film kolosal.
Dapat dipahami jika kemudian pembatalan proyek yang melibatkan pekerja seni dianggap sebagai semacam peristiwa PHK yang memutus sumber pendapatan, sehingga terdengar sangat wajar dan empatik ketika anggota parlemen mendesak pemerintah memasukkan seniman dalam skema penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) karena konon banyak juga pekerja seni yang terpaksa menyambung hidup dengan berhutang. Direktorat Jenderal Kebudayaan hingga 8 April 2020 mendata sedikitnya ada 40.081 seniman yang terdampak pandemi COVID-19, mereka rata-rata kehilangan penghasilan Rp5 juta per bulan. Kemendikbud kemudian membagi ‘bantuan’ berdasarkan dua skema: pertama, bantuan PKH (Program Keluarga Harapan) dari Kementrian Sosial diberikan untuk seniman berpenghasilan di bawah 10 juta per bulan, sudah berkeluarga, tidak memiliki program lain, dan belum mendapatkan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). Kedua, bantuan Kartu Pra Kerja, diberikan kepada seniman berpenghasilan di bawah 10 juta per bulan, tidak punya penghasilan lain, belum berkeluarga, belum mendapatkan bantuan sosial (Indriani, 2020).
Digitalisasi sebagai Solusi
Komodifikasi dan komersialisasi seni pada dasarnya bukan barang baru. Karya seni menjadi produk massal itu sudah jamak di seluruh dunia. Sejak revolusi industri bergulir hingga sekarang memasuki era 4.0, urgensi pembagian kerja dan produksi massal untuk pasar global, secara pasti dan nyaris tanpa disadari terus bergerak ke pemutakhiran proses otomasi. Jika di masa awal-awal manifestasinya adalah manufaktur dengan kecanggihan teknologi assembly line dan ban berjalan (conveyor belt), saat ini kata kuncinya adalah digitalisasi. Digitalisasi adalah konversi informasi analog dalam bentuk apa pun (teks, foto, suara, gerak, dan lain-lain) ke bentuk digital dengan perangkat elektronik yang sesuai (seperti pemindai atau chip komputer khusus) sehingga informasi tersebut dapat diproses, disimpan, dan ditransmisikan melalui sirkuit digital, peralatan, dan jaringan (Enhuber, 2015:3).
Dengan digitalisasi, karya seni menjadi lebih accessible, siapa pun dapat menikmatinya. Tidak perlu berasal dari kalangan menengah ke atas untuk bisa menyaksikan konser musisi kelas dunia atau menghadiri premier pameran lukisan di gallery Christie, semua bisa diakses melalui platform Youtube atau live streaming melalui berbagai platform. Digitalisasi seni dengan sendirinya menghilangkan batasan konsumsi dalam waktu, ruang dan uang. Ruang seni digital mendelokasikan karya seni, memungkinkan pengguna (penonton, pendengar, pembaca) untuk mengalami pertunjukan dan karya seni di tempat atau waktu yang secara fisik terpisah dari lokasi karya itu berada (Tonta 2008, 5). Digitalisasi, menurut Lugton (2011), meningkatkan jangkauan, interaktivitas, ketekunan, kecepatan dan fleksibilitas seni.
Sirkus modern Cirque du Soleil yang sebelumnya telah membuat terobosan besar dalam dunia seni pertunjukan dengan meninggalkan atraksi badut dan fauna a la sirkus tradisonal dan menggantinya dengan efek animasi komputer, di masa pandemi COVID-19 ini menunda semua jadwal show-nya walaupun tiket online sudah terjual habis bahkan untuk jadwal tahun depan. Namun dengan digitalisasi mereka tak perlu merugi, manajemen Cirque de Soleil membuat sebuah pagelaran daring yang merupakan kompilasi dari rekaman video pertunjukan-pertunjukan sebelumnya, digabung dengan rekaman video para artis sirkus yang mendokumentasikan aktivitas latihan mereka dari rumah masing-masing, video komentar para penonton dan direksi yang juga dikirimkan secara terpisah, diproses menjadi sebuah program CirqueConnect berdurasi satu jam utuh yang ditayangkan melalui YouTube.
Di Indonesia, merespon ketentuan PSBB yang ditetapkan pemerintah selama masa wabah, musisi Indra Lesmana berkolaborasi dengan gitaris Dewa Budjana menggelar konser musik ‘Mostly Jazz Live’, yang disiarkan secara langsung dari beberapa tempat berbeda di Jakarta dan Bali, bukan dari satu studio yang sama. Penonton yang ingin menonton siaran langsungnya dapat mengakses melalui platform video conference, tidak gratis, mereka harus membeli tiket dulu secara online. Penyair Joko Pinurbo membuat puisi khusus yang menceritakan situasi saat pandemi corona, ajakan di rumah saja dan kisah yang menceritakan perjuangan melawan Covid-19. Puisi-puisi tersebut dibacakan di rumah, disiarkan secara daring melalui zoom bersama 14 penyair Indonesia lainnya dari berbagai kota.
Sementara itu Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan memfasilitasi seniman untuk terus berkreasi dengan menyiapkan program Budayasaya. Budayasaya adalah sebuah program publikasi karya seni menggunakan multi-platform yang dapat diakses secara gratis oleh masyarakat. Mendikbud Nadiem Makarim mengapresiasi program ini dengan menyebutnya sebagai wujud nyata gotong royong memajukan kebudayaan dan cara yang kreatif dan inovatif menghadapi pandemi Covid-19. Akun Youtube Budayasaya telah memiliki 29.900 subscribers, akun Twitternya telah memiliki 24.500 followers, dan pertunjukan melalui live Instagramnya ditonton oleh tak kurang dari 97.000 viewers.
Kemungkinan Lain Digitalisasi Seni
Teknologi informasi dan komunikasi mengambil posisi sebagai bagian dari entitas sekaligus support system terciptanya bentuk-bentuk dan definisi-definisi baru seni dan kreativitas. Digitalisasi, selanjutnya serba hadir sebagai sebuah keniscayaan baru. Di Indonesia, digitalisasi yang semula dianggap belum mendesak, mau tak mau, suka tak suka bergerak menuju posisi barunya yang boleh jadi kelak akan hegemonik, diawali dari perannya sebagai juru selamat di masa krisis. Di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini, bagaimanapun digitalisasi menjadi satu-satunya opsi termudah untuk keluar dari hajaran musibah. Guru bisa tetap mengajar, murid tetap bisa belajar, pedagang tetap bisa melayani pembeli, tak terkecuali seniman tetap dapat mencipta, meski terpisah jarak ibadah tetap bisa berjamaah bahkan pasangan-pasangan muda tetap bisa melangsungkan akad nikah.
Gagasan Guy Debord (1971) tentang spectacle society di mana dunia nyata diubah menjadi gambar belaka, saat ini menjadi relevan adanya. Kita saat ini sungguh-sungguh sedang berada di dunia tontonan (spectacle). Spectacle (tontonan) bertugas untuk menunjukkan kepada kita sebuah dunia yang tidak dapat lagi dipahami secara langsung dengan menggunakan berbagai mediasi. Konsekuensinya, secara alami indra penglihatan menggantikan keunggulan khusus yang pernah dimiliki oleh indera sentuhan. Padahal, indera penglihatan adalah indra yang paling abstrak dan mudah ditipu sekalipun ia merupakan indera yang paling mudah beradaptasi dengan abstraksi umum masyarakat saat ini. Tapi tontonan itu bukan hanya masalah gambar, atau bahkan gambar ditambah suara. Tontonan yang sedang meliputi kita saat ini adalah segala sesuatu yang meluputkan kita dari aktivitas dan interaktivitas langsung kita dengan sesama manusia. Kita hidup di lingkungan yang seluruh penghuninya adalah representasi, dan menurut Debord, tontonan ini meregenerasi dirinya sendiri.
Daftar Pustaka
Bernie, Mohammad. (2020). “Survei Sindikasi: Banyak Kontrak Pekerja Kreatif Dibatalkan”. Tirto.id, https://tirto.id/eNr1, diunduh 30 April 2020, pk. 13.03
CNN Indonesia Hari Jazz, Indra Lesmana-Dewa Budjana Bakal Konser Online| Minggu, 26/04/2020, https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20200426001331-227-497311/hari-jazz-indra-lesmana-dewa-budjana-bakal-konser-online
Debord, Guy, 2014, The Society of the Spectacle, Translated and annotated by Ken Knabb, Bureau of Public Secrets, not copyrighted
Indriani, Triono Subagyo (2020) Kemendikbud Data 40.081 Seniman Terdampak Pandemi Virus Corona, https://www.antaranews.com/berita/1408270/kemendikbud-data-40081-seniman-terdampak-covid-19, 7 April 2020, diunduh 30 April 2020
Indraini, Anisa. (2020) “Rano Karno Usul Bantuan untuk Seniman Terdampak Corona”. 06 Apr 2020, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4967281/rano-karno-usul-bantuan-untuk-seniman-terdampak-corona/, diunduh 30 April 2020
Enhuber, Marisa (2015), Art, space and technology: how the digitisation and digitalisation of art space affect the consumption of art—a critical approach, Digital Creativity, Rotledge, England, http://dx.doi.org/10.1080/14626268.2015.1035448
Mulyani, Devi Sri, Dukung Pekerja Seni, Budayasaya Siarkan Kegiatan Budaya Secara Online, 29 Maret 2020 https://kabar24.bisnis.com/read/20200329/79/1219243/dukung-pekerja-seni-budayasaya-siarkan-kegiatan-budaya-secara-online
Papaioannou, Eleni. 2013., The Society of The Spectacle and Art as A Commodity, essay, uncopyrighted
* Penulis adalah Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untag Surabaya.
Naskah ini pernah dimuat dalam buku bunga rampai “Komunikasi Empati dalam Pandemi COVID-19”, Penerbit ASPIKOM Korwil Jawa Timur bekerjasama dengan Penerbit Litera, Cetakan Pertama 2020, ISBN 978-602-5681-70-7.
Keren kakak
Terimakasih Ka Wina 🙂